Sejarah Perkembangan Islam di Bali
Menurut Yudhis M Burhanuddin (2008), ada tiga
fase masuknya Islam di Bali yaitu :
1.
Fase pertama terjadi pada masa Kerajaan Bali
Masuknya Islam pertama
kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalem
Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV. Raja Dalem
Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur dan sekembalinya beliau diantar oleh 40 orang pengawal
yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di
Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di
pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit. Para pengawal
muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu
pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini
merupakan tempat ibadah umat Islam tertua di Pulau Dewata.
H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu
menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di
Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon,
kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan
(Jembrana). Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup
panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam
pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur
arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur
seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam
di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di
Indonesia. Desa-desa yang tersebut diatas merupakan desa-desa muslim yang ada
di Bali. Kehidupan di sana sama seperti kehidupan masyarakat di Bali pada
umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadahnya .
2.
Fase kedua terjadi pada masa-masa kolonial Belanda.
Gelombang Muslim yang terjadi saat Belanda
(VOC) berhasil menguasai Makassar pada tahun 1667 M. di bawah tekanan Belanda,
penduduk Makassar banyak melarikan diri meninggalkan pulau Sulawesi. Salah satu
tujuan pelarian adalah pulau Bali. Etnis Bugis tersebut mendarat pertama kali
di Air Kuning, yang saat itu masih jarang penduduknya. Hingga pada akhirnya,
atas ijin dari Penguasa kerajaan Jembrana kala itu I Gusti Ngurah Pancoran,
jadilah Air Kuning sebagai perkampungan Islam pertama di Jembrana. Baru
kemudian pada sekitar abad ke 18 M datang rombongan Muslim melayu pontianak
yang dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodary, yang nantinya menjadi cikal
bakal keberadaan kampung Islam Loloan.
Dalam gelombang selanjutnya, pasca kemerdekaan
seiring dengan pesatnya kemajuan industri pariwisata, banyak penduduk Muslim
Jawa, Madura dan Lombok, yang mengadu nasib ke pulau Bali ini. ini terjadi
karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal, yang pada tahun-tahun
berikutnya sampai saat ini, terus mengalami peningkatan penduduk pendatang
Muslim dari berbagai daerah di Indonesia.
Dulunya, kontak budaya fase pertama dan fase
kedua tidak terlalu menjadi persoalan. Ini tentu berbagai faktor diantaranya
ruang-ruang yang ada, baik sosial-politik maupun ekonomi masih lapang. Akan
tetapi, dalam atmosfir kontak etnik-kultur dan religi fase ketiga ini persoalan
struktural (sosial-politik dan ekonomi) menjadi penting. Sedikit banyaknya,
semua ini memicu reaksi (sebagian) orang Bali. (Yudhis M Burhanuddin, 2008)
3.
Fase ketiga, terjadi pada masa setelah kemerdekaan
sampai terkenalnya sektor pariwisata hingga saat ini.
Saat ini jumlah ummat islam di Pulau Bali mencapai 9 % dari total penduduk Bali dan keberadaan ummat Islam di pulau Bali sudah
begitu membaur dan menyebar dihampir sega penjuru, baik daerah perkotaan maupun
pedesaan. namun secara umum penyebaran ummat Islam masa kini lebih
terkonsenterasi di wilayah Denpasar dan Badung, hal tersebut bisa dipahami
karena kedua daerah tersebut merupakan daerah pariwisata utama pulau
bali.
Di Bali, penyebaran
Islam tidak terorganisir layaknya di Jawa. Keberadaan Islam di Bali, pra
tokoh-tokoh muslim kala itu tidak pernah melakukan komunikasi antar daerah.
Semisal tokoh muslim di Jembrana tidak melakukakn komunikasi dengan muslim di
Buleleng, Badung, Karangasem, dan daerah muslim lainnya. Hal inilah yang
menyebabkan perkembangan Islam di Bali tidak mengalami perkembangan yang
signifikan. Penyebab lainnya yaitu penyebaran Islam di Bali terjadi secara
kultural.
Para pengusa di
berbagai kerajaan di Bali saat ini menerapkan politik karantinaisasi bagi
penduduk Islam. Ada beberapa alasan penerapan politik karantinaisasi yaitu
pertama, mencegan timbulnya konflik antara orang Islam dan orang bali yang
disebabkan perbedaan agama dan kebudayaan. Kedua, meminimalisir kemungkinan
adanya Islamisasi yang dilakukan oleh orang Islam terhadap orang Bali. Ketiga,
memberikan rasa aman secara sosiologis, kultural, keagamaan, dan psikologis
sebab dalam perkampungan yang berpola karantinaisasi mereka dapat mengembangkan
identitasnya secara bebas tanpa didominasi oleh etnik Bali. Keempat, etnik Bali
Hindu yang ada di sekitarnya bisa mempertahkan identitasnya tanpa ada perasaan
di rongrong oleh orang Islam. (Nengah Bawa Atmajda, 2010). Penerapan politik
karantinaisasi dapat menghindarkan benturan konflik antar agama, sehingga
muncul istilah Nyamaslam, sebutan bagi orang Hindu kepada penduduk islam yang
menganggap orang Islam sebagai Saudara.
Mengapa Bali
tetap Hindu?
Adanya beberapa penjelasan mengenai alasan ini antara lain karena
geografis dan historis. Menurut kemungkinan yang ditulis oleh Pringle antara
lain :
Pertama,
Bali tidak pernah secara nyata “anti Islam”, walaupun memiliki budaya yang
berbeda. Ini sebabnya Bali tidak pernah merasa harus ditundukkan oleh Kerajaan
Islam, terutama Mataram di Jawa. Minoritas Islam yang berdagang, terutama di
Bali Utara, dan menjadi tentara tetap dapat singgah di Bali.
Kedua,
berkaitan dengan momentum, sejak runtuhnya Majapahit kemudian
Pajang-Jipang-Demak sampai Mataram yang paling kuat, setidaknya ada jeda selama
100 tahun. Saat Majapahit runtuh dan Gelgel menguat, Mataram belum terlalu
kuat. Walaupun Mataram dapat mengusir Gelgel dari Blambangan, Gelgel masih
terlalu kuat untuk ditaklukkan.
Ketiga,
ketika Mataram mulai menguat dan Gelgel mulai melemah, datang Belanda yang
membuat Mataram harus membagi konsentrasi. Mataram juga dilemahkan oleh
konflik-konflik internal.
Keempat,
Mataram menjadi defensive saat kekuatan Belanda menguat, tak lagi memikirkan
ekspansi. Mataram justru semakin kehilangan wilayah kekuasaannya seiring dengan
menguatnya Belanda. Karena Mataram yang melemah, tidak ada keuntungan yang
didapat dari penguasa di Bali untuk memeluk Islam. Pecahnya Gelgel tahu 1690
menjadi sembilan kerajaan kecil justru memudahkan Belanda mengontrol Bali di
periode-periode akhir masa colonial. Sembilan Kerajaan di Bali ditaklukkan Belanda
hanya dalam waktu 60 tahun (1849-1908).
0 komentar:
Posting Komentar