#recent-posts li {list-style: none;border-bottom: 1px dotted #ff5848;padding-bottom: 10px;padding-top: 10px;}

If I could, turn back time.... Then I would, rewrite those lines.....

Your name

www.your-url-here.com
Your own description here. Edit it.
About Me
Replace this with your own description here. Go to "Edit HTML" to change this.

Selasa, 08 Mei 2018


Sejarah Perkembangan Islam di Bali

Menurut  Yudhis M Burhanuddin (2008), ada tiga fase masuknya Islam di Bali yaitu :

1.      Fase pertama terjadi pada masa Kerajaan Bali

Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalem Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV. Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan sekembalinya beliau diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.  Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini merupakan tempat ibadah umat Islam tertua di Pulau Dewata. 

H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana). Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. Desa-desa yang tersebut diatas merupakan desa-desa muslim yang ada di Bali. Kehidupan di sana sama seperti kehidupan masyarakat  di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadahnya .

2.      Fase kedua terjadi pada masa-masa kolonial Belanda.

Gelombang Muslim yang terjadi saat Belanda (VOC) berhasil menguasai Makassar pada tahun 1667 M. di bawah tekanan Belanda, penduduk Makassar banyak melarikan diri meninggalkan pulau Sulawesi. Salah satu tujuan pelarian adalah pulau Bali. Etnis Bugis tersebut mendarat pertama kali di Air Kuning, yang saat itu masih jarang penduduknya. Hingga pada akhirnya, atas ijin dari Penguasa kerajaan Jembrana kala itu I Gusti Ngurah Pancoran, jadilah Air Kuning sebagai perkampungan Islam pertama di Jembrana. Baru kemudian pada sekitar abad ke 18 M datang rombongan Muslim melayu pontianak yang dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodary, yang nantinya menjadi cikal bakal keberadaan kampung Islam Loloan.
Dalam gelombang selanjutnya, pasca kemerdekaan seiring dengan pesatnya kemajuan industri pariwisata, banyak penduduk Muslim Jawa, Madura dan Lombok, yang mengadu nasib ke pulau Bali ini. ini terjadi karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal, yang pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini, terus mengalami peningkatan penduduk pendatang Muslim dari berbagai daerah di Indonesia.
Dulunya, kontak budaya fase pertama dan fase kedua tidak terlalu menjadi persoalan. Ini tentu berbagai faktor diantaranya ruang-ruang yang ada, baik sosial-politik maupun ekonomi masih lapang. Akan tetapi, dalam atmosfir kontak etnik-kultur dan religi fase ketiga ini persoalan struktural (sosial-politik dan ekonomi) menjadi penting. Sedikit banyaknya, semua ini memicu reaksi (sebagian) orang Bali. (Yudhis M Burhanuddin, 2008)

       3.      Fase ketiga, terjadi pada masa setelah kemerdekaan sampai terkenalnya sektor pariwisata  hingga saat ini.

Saat ini jumlah ummat islam di Pulau Bali mencapai 9 % dari total penduduk Bali dan keberadaan ummat Islam di pulau Bali  sudah begitu membaur dan menyebar dihampir sega penjuru, baik daerah perkotaan maupun pedesaan. namun secara umum penyebaran ummat Islam masa kini lebih terkonsenterasi di wilayah Denpasar dan Badung, hal tersebut bisa dipahami karena kedua daerah tersebut merupakan daerah  pariwisata utama pulau bali.

Di Bali, penyebaran Islam tidak terorganisir layaknya di Jawa. Keberadaan Islam di Bali, pra tokoh-tokoh muslim kala itu tidak pernah melakukan komunikasi antar daerah. Semisal tokoh muslim di Jembrana tidak melakukakn komunikasi dengan muslim di Buleleng, Badung, Karangasem, dan daerah muslim lainnya. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Islam di Bali tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Penyebab lainnya yaitu penyebaran Islam di Bali terjadi secara kultural.

Para pengusa di berbagai kerajaan di Bali saat ini menerapkan politik karantinaisasi bagi penduduk Islam. Ada beberapa alasan penerapan politik karantinaisasi yaitu pertama, mencegan timbulnya konflik antara orang Islam dan orang bali yang disebabkan perbedaan agama dan kebudayaan. Kedua, meminimalisir kemungkinan adanya Islamisasi yang dilakukan oleh orang Islam terhadap orang Bali. Ketiga, memberikan rasa aman secara sosiologis, kultural, keagamaan, dan psikologis sebab dalam perkampungan yang berpola karantinaisasi mereka dapat mengembangkan identitasnya secara bebas tanpa didominasi oleh etnik Bali. Keempat, etnik Bali Hindu yang ada di sekitarnya bisa mempertahkan identitasnya tanpa ada perasaan di rongrong oleh orang Islam. (Nengah Bawa Atmajda, 2010). Penerapan politik karantinaisasi dapat menghindarkan benturan konflik antar agama, sehingga muncul istilah Nyamaslam, sebutan bagi orang Hindu kepada penduduk islam yang menganggap orang Islam sebagai Saudara.



Mengapa Bali tetap Hindu?
Adanya beberapa penjelasan mengenai alasan ini antara lain karena geografis dan historis. Menurut kemungkinan yang ditulis oleh Pringle antara lain :

Pertama, Bali tidak pernah secara nyata “anti Islam”, walaupun memiliki budaya yang berbeda. Ini sebabnya Bali tidak pernah merasa harus ditundukkan oleh Kerajaan Islam, terutama Mataram di Jawa. Minoritas Islam yang berdagang, terutama di Bali Utara, dan menjadi tentara tetap dapat singgah di Bali.

Kedua, berkaitan dengan momentum, sejak runtuhnya Majapahit kemudian Pajang-Jipang-Demak sampai Mataram yang paling kuat, setidaknya ada jeda selama 100 tahun. Saat Majapahit runtuh dan Gelgel menguat, Mataram belum terlalu kuat. Walaupun Mataram dapat mengusir Gelgel dari Blambangan, Gelgel masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Ketiga, ketika Mataram mulai menguat dan Gelgel mulai melemah, datang Belanda yang membuat Mataram harus membagi konsentrasi. Mataram juga dilemahkan oleh konflik-konflik internal.

Keempat, Mataram menjadi defensive saat kekuatan Belanda menguat, tak lagi memikirkan ekspansi. Mataram justru semakin kehilangan wilayah kekuasaannya seiring dengan menguatnya Belanda. Karena Mataram yang melemah, tidak ada keuntungan yang didapat dari penguasa di Bali untuk memeluk Islam. Pecahnya Gelgel tahu 1690 menjadi sembilan kerajaan kecil justru memudahkan Belanda mengontrol Bali di periode-periode akhir masa colonial. Sembilan Kerajaan di Bali ditaklukkan Belanda hanya dalam waktu 60 tahun (1849-1908).

0 komentar:

Posting Komentar