Kasus Poligami Tanpa Izin Istri Disorot
Jambi (ANTARA News) - Kasus poligami tanpa izin isteri
pertama yang menimpa Prapmi (24), yang sedang hamil empat bulan dan menuntut
suaminya Riduwan (31) di Pengadilan Negeri Jambi menjadi sorotan dan perhatian
khusus Komnas Perempuan. Endang Kuswardani SH salah satu koordinator Komnas
Perempuan Perwakilan Jambi, Kamis, mengatakan, pihaknya kini sedang membantu
korban Prapmi untuk memperjuangkan haknya dan menegakkan hukum terhadap
suaminya yang hanya dituntut 10 bulan penjara oleh jaksa. Untuk menegakkan
keadilan di mata hukum pelaku yang juga suami sahnya, wanita itu minta Riduwan
agar dihukum seberat-beratnya sesuai pasal yang ada. Alasan Komnas Perempuan
dalam mendampingi dan membantu Prapmi selama mengikuti persidangan adalah
munculnya kekerasan psikologis seperti malu dipermainkan, bingung dengan
kondisi janin yang dikandungnya hasil pernikahan dengan terdakwa. Kemudian
pernah diancam untuk dibunuh dan direndahkan martabat keluarga, sedangkan
kekerasan ekonomi yang dialaminya tidak dinafkahi dan menanggung biaya
pernikahan sendiri. Sementara itu pelanggaran hukum yang dijerat oleh jaksa
penuntut umum terhadap Riduwan adalah menikah lagi hanya dalam hitungan dua
bulan pernikahan tanpa izin istri pertama dan penipuan. Prapmi dibela Komnas
Perempuan itu adalah korban kekerasan dari seorang suami yang menikah lagi
tanpa sepengetahuan kliennya dan selama korban mengalami kerugian baik moril
maupun materil. Atas dasar rasa ketidakadilan yang dirasakan Prapmi tersebut
membuat Komnas Perempuan mendampinginya agar mendapatkan perlindungan dan
keadilan secara hukum. Komnas Perempuan Perwakilan Jambi terus memantau perkembangan
menjelang putusan majelis hakim Pengadilan Negeri setempat terhadap pelaku yang
juga suami sah korban.(*)
Komentar
Definisi pernikahan dalam Undang-Undang
Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka hal-hal yang merusak kebahagiaan dalam rumah tangga harus
dihindari seperti poligami yang dilakukan Ridwan dalam kasus ini. Pemaksaan
kehendak istri yang disertai kekerasan dan ancaman bukanlah hal yang akan
membawa kebahagiaan dalam keluarga kecilnya. Hanya demi hasrat nafsu semata, ia
rela mengorbankan keluarga yang telah dia bina bahkan dengan adanya anak dalam
kandungan istrinya.
Prinsip
pernikahan sebenarnya adalah monogami (hanya memiliki satu pasangan), di
Indonesia tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Pada azasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.” Namun pasal tersebut tidak menjadi
dasar pelarangan praktik poligami.
Poligami
bukan hal yang dianjurkan melainkan diperbolehkan jika telah memenuhi syarat
yang ditentukan. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan/UUP), negara telah mengatur bagaimana
prosedur dan syarat seorang laki-laki jika ingin menjadikan perempuan lain
sebagai istri keduanya. Dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan:
“Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Pihak bersangkutan yang dimaksudkan adalah
istri pertama, ketika pihak istri menghendaki suaminya menikah lagi maka pengadilan
akan memberikan izin untuk dilakukannya poligami. Akan tetapi dalam kasus yang
dikutip diatas, poligami tidak dilakukan atas persetujuan istri pertamanya.
Bahkan poligami dilakukan setelah suami melakukan pengancaman bahkan kekerasan
demi mendapat izin.
Pada
dasarnya poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang terbilang cukup ketat
serta selalu mengaitkan istri pertama. Kondisi sang istri yang dipoligami harus
memenuhi tiga syarat menurut UU Perkawinan Pasal 4 ayat 2, yaitu :
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri
2.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ditinjau
dari pasal ini Prapmi tidak memenuhi semua ketentuan yang telah dijelaskan
dalam pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Karena hal ini Ridwan sebagai
suaminya tidak punya hak untuk menikah lagi. Ketika Undang-Undang telah
mengatur sedemikian rupa tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak lain maka
aturan itu tidak akan berjalan baik di masyarakat. Sangat disayangkan bahwa
praktek poligami masih merajalela tanpa ada pengawasan yang ketat dalam
kehidupan sehari-hari.
Hal ini juga tertuang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Esensi aturan poligami dalam keduanya cukup serupa dengan berbasis
pada prinsip keterbukaan, kesejahteraan, dan keadilan. Dalam KHI, ada suatu
pengaturan bahwa suami yang hendak menikah lagi harus mampu berbuat adil, dapat
memberikan jaminan kepastian dalam memberikan keperluan hidup para istri dan
anak-anak. Selain itu, KHI juga menekankan perlunya ada alasan yang tepat untuk
berpoligami sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang Perkawinan. Ditekankan
pula perlunya izin dari pengadilan agama setelah terpenuhi alasan dan
pernyataan izin dari istri sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang
Perkawinan.
Praktek poligami yang masih berjalan tanpa ada
pengawasan dari pihak yang berwajib secara ketat hanya akan memeberikan
penderitaan bagi istri. Ditinjau dari bebrapa ulasan yang menyatakan bahwa
suami sudah melanggar beberapa ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) seharusnya tidak bisa melakukan
pernikahan keduanya.dengan adanya kasus ini juga menjadikan kritik bagi para
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, difokuskan dalam hal administrasi
pernikahan. Keadilan bagi perempuan khususnya istri harus ditegakkan agar suami
tidak semena-mena dalam hal berpoligami yang hanya menuruti nafsu semata. Jika
suami tidak mampu berlaku adil, maka cukuplah dengan satu istri.
0 komentar:
Posting Komentar